Berdasarkan analisis, diketahui bahwa diskolasi horisontal di pusat gempa punya dua alternatif, yakni 200 derajat atau arah timur laut dan 110 derajat ke arah barat laut. Belum bisa dipastikan mana yang terjadi akibat gempa rabu lalu.
Sementara itu, pergeseran vertikal juga terjadi akibat gempa, tetapi hanya kurang dari enam meter. Pergeseran vertikal yang minim tersebut menyebabkan tsunami yang terjadi hanya dalam skala kecil.
"Dengan mengikuti dislokasi di atas, Pantai Barat Aceh, Pulau Simeulue dan Nias berpotensi bergeser 1-8 cm dengan arah barat," kata Widjo. Jika dislokasi horisontal adalah 200 derajat, maka Simeulue bisa bergeser sekitar 8 cm dan Aceh bisa bergeser 3 cm.
Hasil pemodelan tersebut masih perlu dikonfirmasi dengan pencatatan global positioning system (GPS) di lokasi yang disebutkan. Namun, biasanya hasil pemodelan tak akan berbeda jauh dari hasil analisis lapangan.
Widjo mengatakan bahwa gempa Aceh tersebut dapat memengaruhi aktivitas di zona subduksi. Namun, hal itu tidak bisa dipakai untuk memperkirakan apakah akan ada gempa di zona subduksi akibat gempa Aceh lalu.
Menurut Widjo, gempa Aceh pada pekan lalu merupakan hal baru bagi para geolog dan seismolog. Gempa di luar zona subduksi yang bermagnitud besar sangat jarang terjadi, apalagi dua gempa yang berpusat di wilayah berdekatan dan terjadi di waktu yang hampir bersamaan.
"Saat ini sangat mendesak dilakukan kajian yang mendalam berkaitan dengan pengaruh gempa yang jarang terjadi ini terhadap daerah subduksi untuk mengantisipasi gempa di masa datang," ujar Widjo.
Gempa terkini yang terjadi di barat daya Pandeglang menunjukkan subduksi di Selat Sunda itu aktif. "Ada kekosongan kegempaan (seismic gap) di bagian barat daya Selat Sunda. Ini berpotensi menghasilkan bencana gempa di masa depan," kata Sutopo. Suhardjono mengatakan, potensi gempa tidak selalu mengikuti zona subduksi, tetapi bisa berpindah ke sesar-sesar lain. Sesar Semangko berada di Sumatera. Sesar Cimandiri, Lembang, dan Baribis berada di Jawa Barat. Ada sesar Opak di Yogyakarta serta sesar-sesar mikro lainnya. Penduduk yang berada di sesar-sesar aktif berpotensi terkena bencana akibat gempa.
"Seismic gap"Segmen Selat Sunda oleh sejumlah pakar selalu dikatakan ada seismic gap. Menurut pakar geodinamika dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Irwan Meilano, seismic gap tidak langsung menunjukkan bahwa segmen tersebut aktif. Butuh data pendukung berupa data lama kegempaan atau adanya bukti regangan antarlempeng.
"Dari penelitian memang terbukti ada regangan di daerah tersebut," kata Irwan.
Diskusi soal seismic gap di segmen Selat Sunda muncul setelah gempa dan tsunami di Aceh pada 2004. (NAW/ISW/CAS)